Suara dering telepon selular mengagetkan saya di pagi hari.

“Benar saya berbicara dengan Bapak … ?” suara di seberang telepon menyebut nama saya.
Saya pun mengiyakan tanpa basa-basi.,
Kemudian, suara yang terdengar tegas itu mengaku mengatasnamakan Bapak RI-1, alias presiden negeri ini dan menjelaskan bahwa atasannya itu hendak berkunjung ke rumah saya.

“Bapak bercanda kali! mana mungkin Presiden mau ke rumah saya? Lagi pula beliau kan tidak kenal saya dan ada urusan apa orang penting seperti beliau ke rumah saya?” kata saya.

“Tidak perlu banyak cakap, Pak, sebutkan alamat lengkap Bapak, kami akan datang sore ini juga, Presiden mau berbuka puasa bersama Anda!” suaranya makin tegas, mungkin ia mantan tentara atau malah masih aktif.

Orang sepenting RI-1 mau ke rumah saya? Ah, saya tidak percaya, ini pasti orang mau menipu saya. Maka saya pun mencoba melakukan verifikasi, seperti halnya saya ketika ditelepon pihak bank.

“Maaf, boleh sebutkan tanggal lahir Bapak Presiden? Nama ibu kandung Beliau? Alamat lengkapnya?”

“Anda menghina saya? Tidak hormat pada Presiden?” gertaknya. Nampaknya ia mulai tidak sabar berbicara dengan saya.

“Ya kalau Anda memang mengatasnamakan Bapak Presiden, jawab saja pertanyaan saya, Anda pasti tahu kan? Ini sekadar meyakinkan saya bahwa Anda tidak hendak menipu saya,” jawab saya lagi tak mau kalah. Sebenarnya, kalau dia mau menipu, apa sih yang diharapkan dari saya? Toh saya tidak punya apa-apa.

Tiba-tiba…
“Assalaamu’alaykum…” suara yang berbeda dari sebelumnya. Namun kali ini, saya rasa mengenal suaranya. Sangat tidak asing karena kerap saya dengar di televisi. Masya Allah…!!! Nyaris tertahan napas saya, sementara dada ini berdegup kencang sekali.

Suara itu… ya, suara RI-1! Rupanya orang tadi benar dan tidak hendak menipu saya. Mungkin Pak Presiden tidak sabar dan mau berbicara langsung dengan saya. Eh, tapi… bukankah banyak pelawak yang bisa menirukan suara beliau?

“Ini benar Bapak Presiden? Coba sebutkan tanggal lahir Anda, nama ibu kandung dan alamat lengkap…” verifikasi lagi.

Sebenarnya, kalau dia sebutkan pun saya juga tidak tahu apa-apa soal data itu, selain alamat lengkap beliau. Tetapi intinya, saya percaya ini benar dan semakin membuat dada saya berdegup. Mau apa? Memangnya beliau kenal saya? Siapa saya? Sudah bikin dosa apa saya, sehingga orang nomor satu negeri ini mau ke rumah saya?

Langsung saya panggil istri saya, tanya di rumah ada persediaan makan apa. “Beras sih ada, sama tempe sisa kemarin…” jawab istri saya.,

Panik saya. Langsung saya perintahkan—biasanya minta tolong—istri untuk belanja semua makanan yang lezat, daging, sayuran terbaik, dan jangan lupa buah-buahan yang beraneka ragam. Tentu kepanikan saya membuat istri bingung, “Siapa yang mau datang sih? Kok segitu repotnya?”

“Presiden!” jawab saya singkat.

“Bercanda ah….” Betul kan, istri saya saja tidak percaya, saya juga sebenarnya.

“Buat beli segala macam tadi, uangnya mana?” istri saya masih bingung, masalahnya memang tidak ada cukup uang untuk beli semua keperluan tadi. Saya pun terduduk lemas, tidak tahu harus mencari pinjaman dari mana untuk menyambut tamu mulia sore nanti.

Yang mau datang ini orang terhormat, mulia dan disegani. Maka menyambutnya pun tidak boleh asal dan sembarangan. Saya harus membersihkan rumah, tidak boleh ada setitik debu pun menempel di lantai. Dinding harus bersih dari coretan, sudut-sudut ruangan jangan ada ramat-ramat. Kamar mandi harus disikat dan wangi, biar Presiden nyaman berlama-lama di kamar mandi saya.

Bagaimana kalau beliau mau menginap? Wah, ganti seprei, bantal guling beli yang baru kalau perlu. Kasur pun harus dijemur dulu, biar empuk dan hangat saat dipakai.

Seluruh isi rumah jadi kelabakan, sampai anak-anak saya pun ikut sibuk membantu bersih-bersih, setidaknya kamar mereka sendiri. Karena kamar di rumah kami hanya dua, berarti malam nanti saya dan istri harus tidur berdesak-desakan bersama anak-anak. Tidak apa-apa, yang penting Presiden merasa nyaman selama berada di rumah saya.

Untungnya…

Cerita di atas tadi tidak sungguh-sungguh terjadi. Tetapi kalau benar-benar terjadi, benarkah saya sepanik itu mempersiapkan kedatangan seorang pemimpin negara?

Bagaimana jika telepon saya berbunyi dan suara di seberang berkata, “Pak, nanti sore ada beberapa anak yatim akan datang ke rumah untuk berbuka puasa.…”

Sepanik itukah saya? Serepot ketika hendak menyambut presidenkah saya? Apakah saya akan menyiapkan semua yang terbaik untuk anak-anak yatim? Bahkan rela meminjam uang dari tetangga untuk membeli makanan?

Bukankah kita diperintahkan memuliakan anak yatim? Bukan sekadar menyayangi atau mencintai. Jika saya sebegitu sibuk saat hendak menyambut presiden, bagaimana sikap saya menyambut tamu mulia anak-anak yatim?

* * *

Pernah suatu hari Ali bin Abi Thalib menangis. Ketika ditanya sebab apa menantu Rasulullah itu menangis, ia menjawab, “Sudah satu minggu tak ada seorang tamu pun yang datang kepadaku untuk meminta sesuatu. Aku khawatir Allah sedang menghinakan aku.”

Karakter seperti Ali bin Abi Thalib ini memang terbilang langka dan unik. Kebanyakan orang justru menghindar dan bersembunyi kalau ada orang yang datang ke rumahnya hendak meminta bantuan. Misalnya saja mereka yang dari balik pagar rumahnya berteriak, “Maaf, tidak ada orangnya” kepada para pengemis yang berdiri mematung di depan pagar. Padahal, boleh jadi pengemis tua itu benar-benar memerlukan bantuan.,

Memang dipandang dari sisi kita, nampaknya pengemis tua renta itu yang memerlukan pertolongan. Namun dilihat dari sudut yang berbeda, sesungguhnya kitalah yang memerlukan pengemis atau siapa pun dari kaum dhuafa itu, karena merekalah kunci surga yang ditebarkan Allah di muka bumi. 
Seperti ditegaskan Rasulullah dalam satu hadisnya, “Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga adalah mencintai orang-orang miskin” (H.r. ad-Daruqutni dan Ibnu Hibban).

Kepada istrinya, Rasulullah pernah berpesan, “Wahai Aisyah, cintailah orang miskin dan akrablah dengan mereka, supaya Allah pun akrab juga dengan engkau pada hari kiamat” (H.r. al-Hakim).

Dalam hadis lain, Nabi Allah pun berkata, “Allah semakin memperbanyak kenikmatan-Nya kepada seseorang karena ia banyak dibutuhkan orang lain. Barang siapa enggan memenuhi kebutuhan-kebutuhan orang lain berarti ia telah merelakan lenyapnya kenikmatan bagi dirinya” (H.r. Baihaqi).,

Banyak hal yang bisa kita perbuat guna membantu dan meringankan beban orang lain di sekeliling kita. Sebanyak orang-orang lemah (dhuafa) yang bertebaran di sekitar kehidupan kita. Coba perhatikan di sudut-sudut jalan, atau ke mana pun wajah ini dihadapkan, akan mudah terlihat beragam golongan kaum dhuafa. Jika kita sedikit ‘gerah’ dengan aksi orang yang berpura-pura menjadi pengemis, alihkan pandangan kita ke rumah-rumah yatim piatu. Atau menjenguk ke rumah sakit untuk melihat betapa banyaknya orang-orang sakit yang kebingungan membayar biaya perawatan. Sesungguhnya, di luar rumah sakit masih lebih banyak orang yang meregang nyawa tanpa pertolongan karena tidak memiliki biaya sedikit pun untuk pergi ke dokter atau rumah sakit.

Jika tidak berupa materi karena kondisi kita pun dalam kesempitan, tetap saja kita tidak kehilangan kesempatan untuk berbuat sesuatu untuk orang lain. Bantuan materi tak melulu harus dari kantong kita, jika tak mampu. Maka bantulah orang yang mampu untuk menemukan kunci-kunci surga itu, dengan cara memberikan informasi tempat-tempat dan orang yang membutuhkan pertolongan. Dengan demikian, kita telah menjadi perantara bagi keduanya, yang menolong dan yang ditolong.

Allah Swt bertanya kepada Nabi Ibrahim ’Alayhi Sallam, “Tahukah kamu mengapa Aku memberi gelar kepadamu Khalilullah—kekasih Allah?” Nabi Ibrahim menjawab, “Tidak tahu, ya Rabb!” Lalu Allah menegaskan, “Lantaran kamu suka memberi makan orang-orang miskin dan shalat di kala orang lain sedang tertidur lelap.”

Maka sesungguhnya, tidak hanya Ibrahim ’Alayhi Sallam yang mampu merebut gelar itu dari Allah. Setiap hamba memiliki kesempatan yang sama dengan Ibrahim untuk menjadi kekasih Allah. Caranya seperti yang dilakukan Nabi Allah itu, suka memberi makan orang miskin dan bangun di waktu malam untuk bermunajat kepada Allah Swt.

Rasulullah Saw dalam hadis lain mengatakan, “Orang yang bekerja keras untuk membantu janda dan orang miskin adalah seperti pejuang di jalan Allah atau seperti orang yang terus-menerus shalat Malam atau terus berpuasa” (H.r.. Muslim)

Artinya, memberi sesuatu kepada kaum dhuafa memiliki nilai yang sama dengan berjihad di jalan Allah. Sayangnya, hal ini seringkali tidak kita sadari. Sudahlah kerap lalai qiyamullail, membantu orang miskin pun tidak kita lakukan.

Khalifah Umar bin Khaththab, salah seorang shahabat yang memberi contoh nyata bagaimana berupaya menjadi kekasih Allah. Pernah suatu malam Auza’iy ‘memergoki’ Khalifah Umar masuk rumah seseorang. Ketika keesokan harinya Auza’iy datang ke rumah itu, ternyata penghuninya seorang janda tua yang buta dan sedang menderita sakit. Janda itu mengatakan, bahwa tiap malam ada orang yang datang ke rumahnya untuk mengirim makanan dan obat-obatan. Tetapi janda tua itu tidak pernah tahu siapa orang tersebut! Padahal, orang yang mengunjunginya tiap malam tersebut tak lain adalah adalah Khalifah yang selama ini sangat ia kagumi.

Pada suatu malam lainnya ketika Khalifah Umar berjalan-jalan di pinggir kota, tiba-tiba ia mendengar rintihan seorang wanita dari dalam sebuah tenda yang lusuh. Ternyata yang merintih itu seorang wanita yang akan melahirkan. Di sampingnya, duduk suaminya yang tengah kebingungan. Maka pulanglah sang Khalifah ke rumahnya untuk membawa istrinya, Ummu Kultsum, untuk menolong wanita yang akan melahirkan anak itu. Tetapi wanita yang ditolongnya itu pun tidak tahu bahwa orang yang menolongnya dirinya adalah Khalifah Umar, Amirul Mukminin yang dia hormati.

Pada kisah lainnya, Khalifah Umar berjalan di tengah malam berkeliling perkampungan untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Kemudian ia mendapati sebuah gubuk reot dan terdengar suara tangis anak-anak di dalamnya. Dari celah gubuk reot itu ia melihat seorang ibu yang tengah berusaha menenangkan anaknya yang menangis karena kelaparan. Rupanya anaknya menangis karena kelaparan sementara sang ibu tidak memiliki apa pun untuk dimasak malam itu.

Umar mendengar si ibu berkata kepada anaknya, “Berhentilah menangis, sebentar lagi makanannya matang….” Namun kemudian Umar terperanjat ketika melihat bahwa yang dimasak oleh ibu itu adalah sebuah batu. Sandiwara sang ibu yang berpura-pura memasak itu hanya untuk meredam tangis anaknya yang tak henti karena rasa lapar. Melihat pemandangan itu Umar sangat sedih dan merasa berdosa. Ditemani pengawalnya, Umar pergi ke gudang penyimpanan makanan negara dan mengangkut sendiri karung gandum itu!

“Izinkanlah saya yang akan membawa dan memanggul gandum itu,” pinta sang pengawal. “Biarlah aku yang mengangkat dan memanggul gandum ini. Ini adalah tanggung jawabku. Dan aku akan menebus dosa-dosaku yang telah menyengsarakan rakyatku,” kilah Umar bin Khaththab.

Di masa sekarang, mungkin terdengar aneh kalau ada kasus orang yang memasak batu karena kelaparan. Tetapi kita pun tak bisa menutup mata atas beberapa peristiwa yang pernah terungkap di media massa berkenaan dengan kemiskinan. 

Tentang seorang anak Sekolah Dasar yang mencoba bunuh diri karena tidak punya buku pelajaran, tentang sekeluarga yang meninggal karena kelaparan, atau jutaan orang yang terjerat utang dan jatuh dalam rantai baja rentenir.

Insya Allah, banyak kesempatan untuk menjadi kekasih Allah di masa kini. Segera ambil kesempatan ini, atau orang lain yang merebutnya dari depan mata kita. Berbagilah dengan sesama, tanpa harus menunggu tamu yang hadir di rumah kita adalah Presiden.,

Judul Buku: Oase Hati,
Penulis: Bayu Gawtama,,

Posting Komentar

 
Top